Minggu, 20 Juni 2010

Karier Kerja

A. Tujuan Khusus :
Warga belajar dapat memahami pentingnya profesionalisme dalam bekerja dan hubungannya dengan karier dalam bekerja.

B. Pokok Bahasan : Karier Kerja

C. Sub Pokok Bahasan :
1. Membina Karier
2. Menghadapi Atasan
3. Membangun Kesan Positif
4. Profesionalisme

D. Uraian Materi :
Tak terhitung lagi literatur ataupun petunjuk praktis bagi para manajer yang mengemukakan, bahwa untuk dapat maju dalam karier, kerja keras dan disiplin adalah resepnya. Dengan bekerja keras secara disiplin, tak ayal ini akan membuahkan hasil-hasil yang konkrit positif bagi perusahaan. Prestasi kerja atau manajer yang demikian akan diperhatikan dan dicatat. Pencatatan belum tentu membawa promosi yang telah diharap-harapkan. Bahkan belum tentu mengakibatkan peningkatan dalam penghasilan sang manajer yang bekerja keras dan disiplin itu.

Dalam kondisi seperti itu, maka kemajuan karier sang manajer semakin ditentukan oleh seberapa banyak perhatian yang diarahkan pada dirinya dari orang lain, terutama dari atasannya atau pimpinan perusahaan. Kerja keras, citra atau image, ternyata menduduki tempat kedua sesudah penampilan, sebagai faktor-faktor yang paling berperan dalam karier seseorang.

Ada dugaan bahwa mayoritas manajer perusahaan masih terbenam dalam semacam "mitos palsu" di mana pekerja keras otomatis akan diperhatikan oleh atasan dan dinaikkan ke posisi lebih tinggi. Hal ini belum tentu benar, karena kenyataan menunjukkan bahwa individu yang bisa "maju" di suatu perusahaan adalah orang-orang yang mampu menampilkan diri secara baik di saat-saat yang penting.

Upaya menampilkan diri ini sebenarnya dapat dimulai dengan mudah, yaitu dengan tidak banyak berbicara dahulu tetapi lebih banyak mendengarkan dan mengamati dinamika lingkungan kerja, rekan kerja, kbiasaan-kebiasaan setempat, dan hal-hal sejenis.

Salah satu jalan tercepat untuk bisa tampil ialah dengan menempatkan diri - kalau perlu sebagai relawan - dalam berbagai satuan tugas yang tujuannya menunjang kegiata-kegiatan utama perusahaan.

Terlebih apabila satuan tugas ini dibentuk dalam rangka "trauble shooting" suatu kegiatan yang macet di tengah jalan. Kalau berhasil membereskan masalahnya hingga kegiatan lancar kembali, maka kredit point akan diperoleh, kalau gagal, toh bukan kita yang menyebabkan timbulnya masalah, sehingga kemungkinan dipersalahkan pun akan lebih kecil.

Tak tertutup kemungkinan memang, bahwa seorang manajer maju atas jasa pihak lain di luar dirinya, misalnya "dikatrol" oleh atasan yang mempunyai atau "kewajiban" tertentu adanya, atau juga manajer tersebut menjadi anggota suatu klik yang diketahui merupakan "ruling elite" di perusahaan tersebut.

Terlepas  dari kenyataan bahwa, karier dapat maju atas dasar hubungan ini, namun tak dapat disangkal bahwa hal itu jelas akan menimbulkan hubungan antar pribadi yang tak serasi dengan pihak-pihak atau rekan-rekan yang merasa tak kalah kontribusinya pada perusahaan dan sewajarnya mendapat perhatiasn dan perlakuan yang sama.

1. Membina Karier
Orang zaman dahulu juga mempunyai resep yang jitu untuk mengawali dan mengembangkan apa yang oleh orang modern disebut "karier". Baik itu karier dalam arti sempit ( sebagai upaya mencari nafkah, mengembangkan profesi, dan meningkatkan kedudukan ), maupun dalam arti luas ( sebagai langkah maju sepanjang hidup atau mengukir kehidupan seseorang.

Salah satu resepnya adalah persiapan sejak dini. Memulai rangkaian proses inisiasi sejak bayi hingga mandiri, seseorang dipersiapkan untuk berhasil menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab. Masa kini, kemapanan cara ini dapat dipadankan dengan program imunisasi, program gizi, dan program edukasi. Gemblengan mental secara "prihatin dan tirakat" zaman dulu, kini ditangani oleh para ahli pedagogi dan psikologi. Bahkan dalam hal ilmu dan teknologi, manusia modern lebih unggul.

Konon 3 di antara 5 manusia karier mendambakan karier mereka menanjak terus dengan pesat. Penghasilan makin besar, kedudukan sosio ekonomis makin tinggi dan mantap, batin makin puas karena berhasil mewujudkan jati diri. Namun tak semua berhasil mencapai dambaan seperti itu, karena cara mencapai sukses tersebut gampang-gampang susah. Hal inilah yang membuat orang  penasaran mengenai resep untuk mengembangkan karier.

Ada yang punya resep "semir dan koneksi." Ada pula yang mengandalkan resep "Gunung Kawi." Ada yang yakin resepnya adalah "prestasi." Ada pula yang tekun mencoba resep "dedikasi." Tak kalah berbobot, resep "ilmu dan teknologi." Tetapi banyak pula yang menganggap resep "konsistensi." Dan tak kalah ketinggalan resep "promosi diri."

Semua serba berakhir dengan hurup "i," sehingga orang tak tahu lagi mana yang sebaiknya diikuti. Resep "semir" dan "koneksi" biasa dikilahkan oleh angkatan kerja baru bila gagal memperoleh posisi. Resep "Gunung Kawi" dirasionalisasikan oleh mereka yang perlu mempertebal keyakinan diri. Mereka yang pegang resep "prestasi." terkadang mengalami prustasi karena belum melambaganya sistem eval;uasi dan apresiasi, serta masih banyaknya atasan yang mau menang sendiri. Untuk menerapkan "konsistensi" diperlukan kesabaran yang tinggi seperti pada pegawai negeri, padahal mereka sudah tidak sabar lagi ingin cepat naik pangkat. Resep "ilmu dan teknologi" memang berarti , namun ini masih perlu dijabarkan  lagi menjadi "prestasi" dan hasilnya mereka sudah tahu sendiri. Resep "dedikasi" nasibnya tidak jauh beda dari resep "konsistensi." Keduanya makan waktu, konsentrasi, dan belum tentu dihargai. Resep lainnya, yaitu "promosi diri" di kalangan timur malah dianggap terlalu ambisi dan tak tahu diri.      

2. Menghadapi Atasan
Yang namanya manajer itu pada umumnya mempunyai atasan. Bahkan seorang Direktur Utama atau Presiden Direktur sebagai manajer tertinggi suatu perusahaan, pada umumnya juga bertanggung jawab kepada pihak lain yang dalam hal tertentu lebih ber"kuasa," misalnya kepada Presiden Dewan Komisaris atau kepada para pemegang saham.

Kemajuan karier para manajer ini sebenarnya amat ditentukan oleh atasan mereka tadi. Tugas manajer untuk mengatur bawahan memang menjadi indikasi prestasi, tetapi yang memberikan apresiasi ( dan rekomendasi promosi ) bukan mereka ( bawahan tadi ), tetapi para atasan. Literatur tentang bagaimana me-manage bawahan sudah teramat banyak. Sayang tak ada satupun buku mengenai "how to manage the boss."

Jarang sekali manajer yang mafhum bahwa mengelola atasan sama pentingnya dengan mengatur bawahan. Tak jarang omelan dan uneg-uneg diarahkan ke pimpinan ( boss ), tetapi tak ada yang berpikir bahwa pimpinan itu sebenarnya bisa juga "diatur." Bahkan, mengatur atasan dapat dikatakan lebih mudah daripada mengatur bawahan, lantaran tidak terlalu banyak patokan yang harus diingat.

Ada beberapa petunjuk praktis mengenai bagaimana cara seorang manajer me-manage atasannya.
a. Ia ( manajer ) harus menyadari bahwa sebagai bawahan, ia mempunyai tugas membantu atasannya menjadi seefektif dan sesukses mungkin dalam tugasnya. Presatasi atasan ini tentu akan membawa kemajuan-kemajuan dalam kariernya maupun karier bawahannya yang turut mendukungnya.

b. Manajer harus menyadari bahwa atasannya manusia biasa, dengan segala keanehan-keanehan pribadinya. Atasan itu pasti berbeda dengan pimpinan-pimpinan lain. Jadi jangan mencoba menyamakan atasan yang satu dengan atasan yang lain, misalnya yang tercantum dalam berbagai buku manajemen atau otobiografi. Tugas kita adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan pimpinan berprestasi secara baik.

c. Kenali kelebihan dan kekurangan / kelemahan atasan. Dengan demikian kita dapat menunjang boss pada bidang-bidang di mana dia memang butuh bantuan.

Usahakan agar pimpinan kita tahu benar apa yang dapat diharapkan dari kita sebagai bawahan, apa tujuan segala aktivitas kita dan bawahan kita, serta apa yang menjadi prioritas - dan yang bukan prioritas - program kerja kita.

Dengan ikut membantu pimpinan, sebenarnya manajer yang bersangkutan sedang mengumpulkan point untuk  kenaikan karier nantinya.

3. Membangun Kesan Positif
Bagaimanapun juga, pimpinan adalah tokoh yang menentukan nasib karier seseorang, baik secara langsung maupun tak langsung. Karenanya, kesan positif pimpinan terhadap karyawan harus dibina dan dikembangkan oleh karyawan yang bersangkutan. Bila kesan tersebut belum ada, karyawan perlu menciptakannya.

Upaya membangun kesan positif di mata pimpinan, bukanlah merupakan upaya penuh tipu daya, muslihat, atau merupakan usaha menjilat atasan. Sama sekali bukan.

Upaya semacam ini merupakan strategi dan taktik karyawan yang bersifat positif dan sah. Tindakan ini didasari atas adanya pengertian saling membutuhkan dan saling menghargai antar manusia. Karena pimpinan dan karyawan itu termasuk manusia, maka kedua belah pihak tersebut juga memiliki rasa saling membutuhkan dan menghargai. Dan sikap ini akan lebih mudah timbul bila seseorang telah memiliki kesan positif terhadap orang lain.

Para manajer / eksekutif semakin menyadari, bahwa membangun kesan positif dari pimpinan merupakan hal penting yang berkaitan dengan masalah karier mereka. Ketidakmampuan seseorang untuk membuat pimpinan terkesan, acapkali membuat karier seseorang tersebut terlambat atau berjalan tersendat-sendat.

Para pimpinan biasanya sangat terkesan, bila mendapatkan bukti bahwa karyawannya selalu sibuk bekerja. Karenanya, usahakanlah untuk memenuhi meja kerja dengan pelbagai berkas laporan, foto / gambar produk-produk perusahaan, grafik-grafik, dan lain sebagainya.

Namun, apa pun yang dilakukan, janganlah menata pelbagai barang / perlengkapan kerja secara rapi, atau menurut kelompok pembagian yang teratur, karena keteraturan dapat menarik pengunjung tak diundang - termasuk pimpinan - untuk duduk di kursi kerja kita dan mengisengi meja kerja kita. Dengan membuat meja kerja tampak "porak poranda," pimpinan atau karyawan lain akan sulit untuk menemukan "catatan pribadi" yang kita selipkan di bawah tumpukan dokumen.

Menurut hasil penelitian, para manajer/ eksekutif sering memasang atau menggantungkan pelbagai bentuk foto / gambar di ruang kerjanya. Eksekutif yang gemar menghiasi ruang kerjanya dengan foto-foto keluarga atau foto-foto sewaktu liburan, tampak cenderung tak bisa melejit dengan abik pada anak tangga kariernya. Yang berhasil menjadi pimpinan di masa depan adalah para eksekutif yang memilki kecenderungan untuk memasang potret pimpinan di ruang kerjanya. Potret yang dipasang ini biasanya menunjukkan peristiwa / kegiatan positif yang dilakukan pimpinan. Cara ini merupakan bukti atensi kita pada pimpinan. 

Kegiatan memberikan laporan secara baik pada pimpinan juga merupakan hal yang perlu. Hal ini tidak lalu berarti kita menjadi seorang bermental "yes man" atau sekedar bertindak sebagai karyawan yang menyajikan laporan gaya "ABS" ( Asal Bapak Senang ). Tetapi mengandung pengertian, bahwa kita sebagai karyawan harus pandai-pandai membawa diri dan membaca situasi.

Misalnya, kita menghadiri suatu meeting di mana pimpinan juga ikut hadir. Sebelum kita mulai berbicara atau mengeluarkan komentar, seyogianya kita menunggu dulu sampai pimpinan menunjukkan posisinya secara jelas, yaitu ke arah mana ia memiliki kecenderungan dalam menghadapi masalah yang tengah diperbincangkan. Biasanya kita dapat menduga hal ini, bila wajah pimpinan berubah menjadi cerah ketika mendengar usulan yang ia sukai dari seseorang. Namun kalau toh kita tak bisa memastikan di posisi mana pimpinan berdiri, kita masih dapat menggunakan taktik lain, misalnya dengan mengajukan pertanyaan demikian : " Pak, bisakah kami meminta pendapat Bapak ? Karena  tampaknya kami belum memperoleh gambaran yang jelas dalam menghadapi kasus ini. Saya ingat, waktu menghadapi masalah perusahaan XYZ dulu, Bapak dapat membantu kami dalam memecahkan persoalan pelik tersebut."

Dalam hal ini, mau tidak mau, pimpinan kita akan menjelaskan pendapatnya. Bila toh misalnya pendapat kita nantinya berbeda dengan pendapat pimpinan, kita sebelumnya telah berhasil merebut rasa simpati pimpinan. Dengan cara ini, kita dapat mencapai dua tujuan sekaligus, yaitu membuat pimpinan terkesan, karena kita memberikan kesempatan padanya untuk mengemukakan pendapatnya, serta mengungkapkan jasanya di masa lalu; dan kita dapat mengemukakan pendapat kita sendiri tanpa perlu menjadi seorang yang bermenta "Yes man."

Sebagai salah satu bagian dari roda besar perusahaan, kita perlu memilki tas kerja sendiri yang cukup representatif. Di samping itu, setiap kali pulang kerja, tas tersebut harus kita bawa pulang.

Pastikan bahwa pimpinan melihat kita pulang sambil menjinjing tas. Tindakan ini menimbulkan kesan bahwa kita merupakan seorang pekerja keras dan ulet. Pimpinan dapat menduga, bahwa kita ikut membawa pulang berkas-berkas pekerjaan kantor, dan menyelesaikannya sebagai pekerjaan rumah. Bila kita tak menjinjing tas, berarti kita tak mengerjakan sesuatu di rumah.

4. Profesionalisme Kerja
Kata profesionalisme berasal dari bahasa Anglosaxon. Kebalikan dari profesionalisme adalah mengandung pengertian kecakapan, keahlian, dan disiplin, maka amateurisme atau dilettantisme mengandung pengertian acak-acakan.

Kamus Webster Amerika menegaskan bahwa profesionalisme adalah suatu tingkah laku, suatu tujuan,atau rangkaian kualitas yang menandai atau melukiskan coraknya suatu profesi.

Profesionalisme mengandung pula pengertian menjalankan suatu profesi untuk keuntungan atau sumber penghidupan.

Mungkin pengertian asli dari profesionalism ini agak kabur. Dan perlu kiranya kita berusaha mengerti apa yang dimaksud dengan profession, yaitu yang kita kenal dengan istilah profesi, dan yang kita artikan dengan "pekerjaan" atau "job" kita sehari-hari. Tetapi dalam kata profession yang berasal dari perbendaharaan Anglosaxon itu tidak hanya terkandung pengertian "pekerjaan" saja.

Profesi mengharuskan tidak hanya pengetahuan dan keahlian khusus melalui persiapan dan latihan, tetapi dalam arti "profession" terpaku juga suatu panggilan, suatu roeping, suatu calling, suatu strong inner impulse.

Dengan begitu, maka arti "profession" mengandung dua unsur. Pertama unsur keahlian dan kedua unsur panggilan. Sehingga seorang "profesional" harus memadukan dalam diri pribadinya kecakapan teknik yang diperlukan untuk menjalankan pekerjaannya, dan juga kematangan etik. Penguasaan teknik saja tidak membuat seseorang menjadi "profesional." Kedua-duanya harus manunggal.

Dalam perkembangan masyarakat modern dewasa ini, profesionalisme merupakan fenomena yang amat penting, yang dulunya tidak pernah dibahas, baik oleh masyarakat kapitalis-liberal maupun oleh masyarakat komunis otoriter.

Dua pokok yang menarik perhatian dari keterangan Encyclopedia-nya Prof. Talcott Parsons mengenai profesi dan profesionalisme itu.

Pertama ialah bahwa manusia-manusia profesional tidak dapat digolongkan sebagai kelompok "kapitalis" atau kelompok "kaum buruh." Juga tidak dapat dimasukkan sebagai kelompok "administrator" atau "birokrat."

Kedua ialah bahwa manusia-manusia profesional merupakan suatu kelompok tersendiri, yang bertugas memutarkan roda perusahaan, dengan suatu leadership status. Jelasnya mereka merupakan lapisan kepemimpinan dalam memutarkan roda perusahaan itu. Kepemimpinan di segala tingkat, mulai dari atasan, melalui yang menengah sampai ke bawah.

Dalam lapangan kerja, atasan seharusnya menilai kemampuan orang bukan semata-mata atas dasar diploma atau gelarnya, tetapi atas kesanggupannya untuk mewujudkan prestasi berupa kemajuan nyata dengan modal pengetahuan yang ada padanya.

Dalam praktik kita jumpai, bahwa tidak semua orang mampu mendayagunakan pengetahuannya dalam pekerjaan. Tidak jarang kita jumpai seorang sarjana yang hanya mampu bekerja secara rutin. Sebaliknya, seorang non sarjana yang kreatif ternyata mampu memberi bukti kesanggupan berkembang dan menambah aneka bentuk faedah baru dengan dasar pengetahuannya yang relatif masih terbatas itu.

Diploma dan gelar bukan jaminan prestasi seseorang. Prestasi harus diukur di satu pihak dengan hasil yang diperoleh dari seseorang dan di lain pihak dengan tolak ukur yang dikaitkan dengan kemampuan yang semestinya ada pada orang itu.

Diploma hanya memberi harapan tentang adanya kemampuan itu, tetapi kemampuan nyata harus dibuktikan melalui hasil penerapan pengetahuan yang ditandai dengan diploma tadi dalam pekerjaan.

Untuk memperoleh kemampuan demikian, pengalaman merupakan guru yang terbaik. Tanpa kesanggupan untuk menarik pelajaran dari pengalamannya, seseorang tidak akan mengalami proses kemajuan dan pematangan dalam pekerjaan. Orang yang sudah puas dengan perolehan tanda lulus atau gelar saja dan tidak  meneruskan proses belajarnya dari praktik bekerja, akan mengalami kemunduran dalam dunia yang dinamis ini dan akan tertinggal dari yang lain.

Anggapan bahwa profesionalisme dapat diharapkan muncul sekedar dengan anjuran, tidaklah benar. Di bawah ini dikemukakan beberapa ciri profesionalisme.
1. Profesionalisme menghendaki sifat mengejar kesempurnaan hasil, sehingga kita dituntut untuk selalu mencari peningkatan mutu.

2. Profesionalisme memerlukan kesungguhan dan ketelitian kerja yang hanya dapat diperoleh melalui pengalaman dan kebiasaan.

3. Profesionalisme menuntut ketekunan dan ketabahan, yaitu sifat tidak mudah puas atau putus asa sampai hasil tercapai.

4. Profesionalisme memerlukan integritas tinggi yang tidak tergoyahkan oleh "keadaan terpaksa" atau godaan iman seperti harta dan kenikmatan hidup.

5. Profesionalisme memerlukan adanya kebulatan pikiran dan perbuatan, sehingga terjaga efektivitas kerja yang tinggi.

Belum adanya apresiasi yang wajar tentang arti sebenarnya dari istilah "profesional" juga tercermin dalam balas jasa yang diterima oleh tenaga manajer profesional. Di satu pihak, ada majikan yang memperlakukan seorang manajer profesional tidak beda dengan karyawan biasa dan menentukan imbalan jasanya hanya berdasarkan tingkat pendidikannya.

Di lain pihak kita jumpai majikan yang memberi imbalan berlebih karena alasan yang tidak ada sangkut pautnya dengan fungsi atau kedudukan manajer bersangkutan dalam perusahaan ( misalnya, karena ia mantan pejabat tinggi pemerintah atau bertali saudara dengan seorang pejabat tinggi ).

Dapat juga terjadi, bahwa penilaian balas jasa hanya didasarkan pada satu segi yang jelas tampak, yaitu besar keuntungan / laba yang dihasilkan.

Segi-segi prestasi lain yang sebenarnya tidak kalah penting terabaikan, misalnya besarnya pengorbanan pribadi dalam proses pembentukan taraf kemahiran yang diperoleh, besarnya tangggung jawab atau resiko yang harus dipikul dalam perusahaan, atau kemampuannya untuk menghindarkan perusahaan dari menderita kerugian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar